Etika Profesi Teknologi Informasi

Diposting oleh Amoebaarabianz on 04.44

Tantangan Etika Profesi Teknologi Informasi di Indonesia

Tantangan Untuk Wartawan
Jaman sudah berubah. Namun masih banyak wartawan yang masih konservatif, melarang wartawan lain masuk pos-nya. Sekedar arogan atau takut kehilangan lahan.
Di akhir masa jabatannya, Pangdam Jaya Mayjen TNI Djadja Suparman memberikan sumbangan sebanyak 100 juta rupiah kepada wartawan peliput Kodam Jaya. Djadja berharap, dana tersebut dimanfaatkan untuk membentuk koperasi wartawan Kodam.
Djadja memberikan dana tersebut secara simbolis kepada Koordinator Wartawan Kodam Jaya, Ballian Siregar (Pos Kota), saat silahturahmi menjelang serah terima jabatan Pangdam. Ballian (Ian) mengaku, bantuan tersebut tidakakan membuat wartawan di lingkungan Kodam kehilangan sikap kritis. "Walaupun dikasih 100 juta rupiah," katanya, wartawan tetap akan independen dan tidak mau berada di bawah kontrol (terkooptasi) Kodam. Rencananya, lanjut Ian, dana akan dimanfaatkan untuk mendirikan Wartel dan Warung Sembako.
Pemberian "sumbangan" Pangdam tersebut membuat gerah sejumlah jurnalis. Pasalnya, masih saja dalam era reformasi seperti ini dimana masyarakat sedang getol menginginkan clean government / clean governance, sekelompok wartawan masih mau menerima bantuan dari lembaga yang nota bene adalah medan pemberitaan. "Lepas dari ikhlas atau atas permintaan, sudah sepatutnya sumbangan dari Pangdam itu ditolak. Ini masalah etika moral seorang wartawan. Apalagi, darimana sih Pangdam dapat uang sebanyak itu? Bukankah Kodam bukan lembaga yang menghasilan dana?" ujar wartawan sebuah media. Wartawan amplop seperti ini memang sudah menjadi rahasia umum dalam masa pemerintahan Soeharto. Dari presiden hingga pak RT telah mengajarkan untuk memberi "imbalan" pada wartawan yang akan atau telah memberitakan tentang dirinya. Dalam banyak konperensi pers, betapa hausnya mereka para wartawan bodrex itu menunggu petugas pembagi amplop. Tapi hal itu bukanlah semata kesalahan si "wartawan". Sebab organisasi profesi wartawan sendiri (PWI) telah jelas-jelas melegalkan soal angpauw ini, lewat statemen bosnya, Sofyan Lubis. Walaupun, masih banyak penerbitan pers (a.l. kelompok Kompas Gramedia dan Tempo) yang dengan eksplisit melarang keras para wartawannya menerima amplop, untuk menjaga kemandirian.
Keberadaan wartawan amplop ini di jaman Soeharto bahkan telah dianggap masyarakat sebagai tindakan yang cukup meresahkan. Banyak orang yang hanya berbekal kartu PWI mendatangi perusahaan atau instansi, pejabat bahkan perorangan untuk mencari uang. Tidak jarang pula sejumlah wartawan itu mengorganisir diri bak kelompok gangster yang suka mengkapling wilayah-wilayah tertentu. Semua kantor departemen punya geng tersendiri.
Ingat kasus wartawan yang sering mangkal di Departemen Keuangan? Mereka punya lembaga sendiri sebagai partner departemen tersebut dalam membuat training maupun seminar-seminar. Ceritanya, tahun 1983, Bambang Wiwoho (Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat), mendirikan Yayasan Bina Pembangunan (YBP). Yayasan ini dibentuk untuk mengerjakan proyek Departemen Keuangan untuk memasyarakatkan Undang-Undang Pajak baru, yang akan berlaku 1 Januari 1984. Kontrak pertama ditandatangani dengan Menteri Keuangan waktu itu, Radius Prawiro. Proyek yang dikerjakan YBP di mana Wiwoho menjadi ketua umumnya, adalah melakukan konsultasi dan penyuluhan pajak, konsultan kegiatan penyiapan tenaga penyuluh dan peningkatan ketrampilan tenaga penyuluh Direktorat Jendral Pajak, khususnya dalam teknis komunikasi massa, melaksanakan kegiatan pembangunan citra perpajakan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Kalau kita dulu pernah mendengar slogan: "Orang Bijak Taat Pajak", "Pembangunan Jalan Ini Bersalah dari Pajak Anda", itu salah satu proyek YBP. Nilai kontrak itu cukup besar, rata-rata mencapai Rp3,5 hingga Rp4,5 miliar setiap tahunnya.
Mungkin, karena menganggap wilayah kerjanya juga sebagai lahan basahanya itulah tindakan para wartawan yang ngepos di suatu tempat itu sering tidak berkenan atas kehadiran wartawan lain yang datang ke wilayah tersebut.
Termasuk pelarangan terhadap sejumlah wartawan yang akan meliput kegiatan di istana negara. "Wartawan Istana ini mengatakan pada saya bahwa saya seharusnya mematuhi tata tertib buat meliput di Istana. Ia mengatakan, sebelum bisa meliput di Istana saya seharusnya lolos litsus (penelitian khusus) serta screening dari badan intelijen seperti BIA atau BAIS. Kemudian setelah itu, saya harus menunggu untuk mendapatkan kartu identitas wartawan Istana berwarna hijau," kata Ade Wahyudi, wartawan Kantor Berita Radio 68H Jakarta salah satu wartawan yang ditolak masuk istana oleh Lukman (Surabaya Post) sebagai koordinator wartawan Istana. Ini menjadi aneh, sebab dari sekretariat negara sendiri tidak pernah mengeluarkan larangan. Sebab sebelumnya, meski tanpa birokrasi yang berbelit Ade sudah beberapa kali diperbolehkan meliput ke Istana oleh bagian Dokumentasi dan Media Massa Setneg. Usut punya usut, ternyata para wartawan istana itu lah yang mengancam bagian dokumentasi dan media massa Setneg untuk melarang wartawan lain yang akan meliput di istana, selain mereka. Pelarangan ini berlanjut hingga sidang-sidang kabinet Gus Dur.
Padahal, ketika wartawan Indonesia meliput kegiatan Presiden Abdurrahman Wahid masuk ke kantor Clinton di Gedung Putih, pihak Gedung Putih merasa welcome saja tanpa menscrenning apa lagi melakukan litsus "keterpengaruhan". Karena mereka hanya memprasyaratkan wartawan yang akan masuk ke Gedung Putih tak lain hanya berbekal surat keterangan dari kantornya masing-masing. Ini pelajaran buat wartawan

0 komentar:

Posting Komentar